Antara 1450 dan 1680, daerah Kepulauan Asia Tenggara ini yang juga lazim disebut “Kawasan di bawah Angin”, menyaksikan kemunculan Negara-negara Islam, diawali di kota-kota pelabuhan serta kesultanan di pesisir utara Jawa seperti Demak dan Cirebon dan juga Aceh di Sumatra serta Melaka di Semenanjung Melayu. Kurun waktu itu juga disebut “Era Perdagangan” oleh karena keterkaitan kawasan itu dengan jaringan perdagangan maritim global yang sedang berkembang saat itu.
Selama abad keenambelas dan ketujuhbelas, kerajaan-kerajaan seperti Mataram, Aceh, Melaka, Makasar, Banten bertumbuh-kembang dan berjatuhan. Selama kurun waktu itu, bahasa Melayu tampil sebagai bahasa terpenting untuk aktivitas perdagangan dan keagamaan (Islam). Kesultananan Melaka abad keenambelas merupakan contoh pertama sebuah kerajaan yang berkebudayaan dan berbahasa Melayu di kurun waktu awal modern itu.
Abad kedelapanbelas, yang bermula agak lebih awal pada akhir “Era Perdagangan”, yaitu sekitar 1680, lebih baik dipandang sebagai sebuah kategori sejarah terpisah. Perkembangan sejarah di abad kedelapanbelas yang ‘panjang’ ini (1680-1800) mencuatkan ciri-ciri khasnya sendiri.
Di awal abad kedelapanbelas, produksi kopi mulai dikembangan di Priangan, Jawa Barat dan dengan demikian mengaitkan kawasan itu lebih dekat lagi pada pasar dunia. Jawa Tengah mengalami sejumlah peperangan memperebutkan tahta serta sejumlah konflik wilayah dan kekuasaan. Dalam rangka mengendalikan pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara Jawa, Kompeni (VOC) semakin terlibat dalam berbagai gerakan memperebutkan hegemoni di Jawa. Jawa memang merupakan pengecualian di antara berbagai kawasan di dunia Melayu-Indonesia. Banyak kawasan lain seperti Johor dan Siak serta lusinan kerajaan kecil di Sulawesi dan Bali, dan bahkan juga kerajaan Blambangan di Jawa Timur penuh gejolak, namun semuanya boleh dikatakan tetap mandiri. Kendati puat-pusat tradisional seperti Ternate dan Makasar telah jatuh ke tangan VOC, hal itu tidaklah berarti bahwa Belanda sudah menguasai seluruh Sulawesi atau Maluku.
Batas-batas lama muncul sebagai pusat-pusat baru. Para pedagang maritim Bugis, Mandar dan Makasar memperluas jaringan dan permukiman mereka di sepanjang pesisir Kalimantan, Riau-Johor dan Sulawesi, menghidupkan pertukaran barang, pandangan dan budaya yang marak melintasi Selat Melaka yang tanpa batas, serta Palung Sunda dan Laut Jawa. Abad kedelapanbelas yang “panjang” dan rumit itu boleh dikatakan telah berakhir pada tanggal 1 Januari 1800, ketika VOC gulung tikar dan kawasan Hindia Belanda (Indonesia) secara resmi beralih ke tangan pemerintah Belanda. Sesudah 1800, khususnya sesudah kedatangan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels di bulan Januari 1808, hubungan Belanda – Indonesia mengalami perubahan yang mendasar.
Memerhatikan koleksi-koleksi kurun waktu awal modern yang ada di ANRI, kita tergiur untuk menyimpulkan bahwa tak ada surat-menyurat antar pulau yang selamat, yaitu surat-menyurat antara para penguasa, pedagang serta ulama di Asia Tenggara. Namun, kesimpulan itu salah. Arsip VOC menyuguhkan informasi tentang sejumlah fakta dan peristiwa tertentu yang sudah disebut dalam sejarah resmi atau karya tulisan keraton seperti Babad Tanah Jawi (Sejarah Tanah Jawa) dan hikayat Melayu – kedua karya tersebut yang pertama dan utama merupakan naskah sastra dan kebudayaan (silsilah) . Tidak dapat dipungkiri bahwa keterbatasan utama arsip adalah pemilihan fakta dan pengamatan akan kejadian oleh orang-orang Eropa ketika itu yang berat sebelah. Sudah tentu hal ini disebabkan karena para penulis naskah-naskah itu memiliki kepentingannya masing-masing. Kini, tantangannya adalah untuk menganalisis naskah-naskah tersebut dengan sudut pandang regional non-Eropa, Indonesia dan Asia. Beruntunglah bahwa Catatan Harian di Kastel Batavia juga berisi ratusan surat yang berasal dari Asia Tenggara. Surat-surat tersebut disampaikan dengan memanfaatkan jasa para kurir khusus yang secara besama menjalankan sistem pertukaran informasi cukup canggih saat itu. Dengan perspektif meletakkan kawasan Melayu dan Indonesia di pusat maritim Asia Tenggara yang sangat strategis, maka koleksi Harta Karun memiliki peran sangat penting.
sumber : sejarah-nusantara.anri.go.id